Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat pada perdagangan sesi I Selasa (01/10/2024), meski ada kabar kurang menggembirakan datang di dalam negeri terkait rilis data ekonomi terbaru di Indonesia.
Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG menguat 0,71% ke posisi 7.581,75. Meski penguatan IHSG cukup kencang, tetapi indeks bursa saham Tanah Air tersebut masih bertahan di level psikologis 7.500.
Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 5,2 triliun dengan melibatkan 9,9 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 678.586 kali. Sebanyak 267 saham naik, 257 saham turun, dan 263 saham cenderung stagnan.
Secara sektoral, bahan baku dan properti secara bersamaan menjadi yang paling kencang penguataanya dan juga menjadi penopang terbesar IHSG di sesi I yakni mencapai 0,98%.
Dari sisi saham, dua emiten konglomerasi Prajogo Pangestu menjadi penopang terbesar IHSG di sesi I hari ini yakni masing-masing mencapai 11,1 dan 8,6 indeks poin.
Berikut daftar saham yang menjadi penopang atau movers IHSG pada sesi I hari ini.
IHSG cenderung menguat meski Indonesia kembali mengalami deflasi pada September lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan IHK RI secara bulanan (month-to-month/mtm) kembali mengalami deflasi sebesar 0,12%. Dengan ini, maka RI sudah mengalami deflasi bulanan selama lima bulan beruntun.
Sedangkan secara tahunan (year-on-year/yoy), IHK RI pada bulan lalu masih mengalami inflasi sebesar 1,84%. Tetapi, inflasi tahunan RI pada bulan lalu mengalami penurunan dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 2,12%.
“Indonesia deflasi 0,12% pada September 2024,” Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Selasa (1/10/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan IHK September 2024 diperkirakan turun atau mengalami deflasi 0,035% (mtm).
Sembilan dari 12 instansi memperkirakan secara bulanan masih akan tercatat deflasi yang tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang terpantau deflasi 0,03%.
Sedangkan IHK tahunan diperkirakan melandai di bawah level 2% atau tepatnya 1,975% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Agustus 2024 yang sebesar 2,12% (yoy).
Deflasi ini menjadi catatan terburuk bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, Indonesia sudah mencatat deflasi selama empat bulan beruntun yakni dari Mei hingga September 2024.
Tak hanya itu saja, sektor manufaktur Indonesia kembali lesu pada bulan lalu. S&P Global melaporkan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan lalu kembali terkontraksi ke 49,2.
Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2). PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
PMI yang tercatat 49,2 pada September 2024 memang lebih besar dibandingkan pada Agustus. Namun, kondisi tersebut tidak melepaskan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
S&P Global menjelaskan kenaikan PMI ditopang oleh meningkatnya pesanan baru. Pesanan naik didukung oleh perbaikan kondisi permintaan dan ekspansi basis pelanggan.
Kendati demikian, pertumbuhan pesanan menjadi yang paling lambat selama periode enam bulan terakhir, terutama, permintaan asing. Permintaan baru untuk ekspor baru melandai selama dua bulan berturut-turut di tengah laporan upaya mengurangi stok di beberapa klien.
“Tingkat pertumbuhan pesanan baru melambat selama tiga bulan berturut-turut karena penjualan ekspor kembali melemah. Sangat penting untuk mengamati tanda-tanda perlambatan lebih lanjut, meski perusahaan manufaktur tampaknya optimis bahwa kondisi akan membaik pada bulan-bulan mendatang,” tutur Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, dikutip dari website resmi mereka.