Dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi, Ronald A Hukom dari Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam (PERHOMPEDIN) membeberkan sejumlah alasan mengapa banyak pasien kanker asal Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri, terutama Malaysia.
Menurut Ronald, fenomena ini menyebabkan negara kehilangan pendapatan hingga Rp170 triliun setiap tahun. Adapun, masalah ini bukan hanya disebabkan oleh kurangnya jumlah tenaga medis.
Faktor lain seperti ketepatan diagnosis, ketersediaan obat, dan durasi waktu pelayanan turut berkontribusi terhadap keputusan pasien untuk berobat ke luar negeri.
“Misalnya, ada yang ingin pergi ke Penang dari Kalimantan, meskipun perjalanan darat mereka sampai 8-10 jam, padahal bila ke DKI Jakarta memakai pesawat hanya dua jam,” kata dia dikutip dari Detik.com, Minggu (13/10/2024).
Biaya Pengobatan di RI Mahal
Ronald menyoroti bahwa biaya pengobatan kanker di Indonesia relatif mahal. Ada beberapa obat dan perawatan baru kanker yang belum tercover atau ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
“Obat-obat kemoterapi tidak murah, BPJS belum menyetujui obat-obat tertentu karena katanya terlalu mahal, memang ini obat mahal, tetapi penggunaannya terlalu boros tidak ada pengawasan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, yang perlu dicatat menurutnya adalah kontrol atau pengawasan penggunaan obat-obatan terkait, di luar ketentuan.
“Biaya BPJS untuk kanker Rp 5 triliun setahun, ini ada 170 triliun setahun yang dibawa pasien-pasien kita ke LN, jantung nomor satu, kanker nomor dua, mungkin untuk jantung Rp 49 triliun lah. Sekarang bagaimana kita menahan biaya yang cukup besar 1-2 tahun,” katanya.
Menurut dia, tren ini sudah terjadi dari 13 hingga 15 tahun yang lalu. Padahal Ronald menilai dokter yang ada di Indonesia tidak kalah dengan yang ada di luar negeri.
Lama Waktu Pelayanan
Faktor lain yang menjadi pertimbangan pasien memilih berobat ke luar negeri adalah waktu pelayanan. Mengingat jumlah penduduk di Indonesia lebih padat, satu dokter di Indonesia bisa menangani 30 hingga 40 pasien.
“Sementara kalau di Malaysia 10 sampai 20 pasien satu dokter,” ujar dia.